Dan Burung-Burung Pun Pulang ke Sarangnya

Dan Burung-Burung Pun Pulang ke Sarangnya

Sinopsis :
Nun jauh di ketinggian, di ranting-ranting malam yang mulai mengembang, burung-burung beterbangan, beriringan, pulang ke sarang-sarang mereka.Matahari tampak seperti sorot mata yang lelah, yang begitu pasrah dan merendah, menjalankan titah. Sinarnya yang jingga dan matang bagaikan sendang, tak henti-henti membasuh jiwa-jiwa yang lelah. Angin yang semilir  memberi kesejukan buat jisim-jisim yang terpuruk. Sebuah lukisan, bukan kata-kata. Sungguh merana bagi siapa yang enggan memandangnya. Lebih merana lagi bagi siapa yang memandangnya tapi masih harus berpikir ulang untuk mengakui betapa hebat Sang Pelukisnya. Yang paling merana adalah mereka yang memandangnya, mengakui kehebatan Pelukisnya, lalu melupakannya begitu saja. Di ketinggian, seorang gadis tengah bercumbu dengan senja, dengan buku harian yang seperti menyimpan setiap detail rahasia hidupnya. Ia menuliskankan sajak-sajaknya. Cahaya jingga tumpah di kerudungnya.

Perjalananku bagaikan air, mengalir saja lewati beribu alam Riak gemericiknya mesra, sama tapi selalu bergantiAda kala kuterjang dangkal, batu kering dan padas licin mengisapiku Kan kulewat penat kulalu hakikat, kurangkul segala apa dalam sejukku Namun ada kala kujelang muara, kan kusulam arus kan tenang Kan kusujud kubasuh kalut, biar kurebah di ruang tirta
Perjalananku bagaikan angin, berembus saja mengarungi berjuta bentuk Desah desirnya lembut, sama meski berganti Ada saat kutampar bingar, asapasap sombong meracuniku Kan kubadai dan hitam kubawa terbang, kugiring segala apa dalam semilirku Dan ada kala kusaput hawa, kan kuhabis segala bengis Kan kukikis sebentuk tangis, biar kurehat di rongga bayu

Tenang, ia menorehkan bait-bait itu sendiri, bagai tenggelam di dunianya sendiri. Dia yang merangkainya sendiri, mendendangkannya sendiri. Di sebuah tempat tinggi, lantai puncak beratap langit lepas, lantai puncak sebuah bangunan yang bersejarah bagi para penghuninya. Penghuni Yayasan Panti Asuhan dan Pesantren Anak ’Manba’ul Ulum’ yang berdiri di tanah Tanjung, pedalaman Nganjuk, Jawa Timur. Di ketinggian ia berdiri, menyanyi, berpuisi, mencurahkan hati, dan memanjakan dirinya dengan belaian angin di sore hari; seorang diri. Ia biasa melakukan itu pada sore hari seusai menjemur cuciannya atau saat ia sekadar ingin disentuh embusan angin. Atau kadang, ketika ingin menangis, ia akan menaiki tangga untuk sampai di puncak lantai tiga itu, lalu ia akan menepi, merapat dengan pagar yang setinggi pinggulnya. Di sana ia akan membentangkan kedua tangan, lantas memejamkan mata untuk membiarkan angin membawa terbang sesak di dadanya, juga genangan kecil di matanya. Hanya itu yang paling ia sukai untuk mengisi kekosongan waktu setiap matahari terapung menghilang. Ia takkan beranjak dari tempatnya berdiri sebelum lazuardi di barat benar-benar menjadi merah. Magrib. Sore itu adalah bagian dari sore-sore yang lain saat ia larut dalam ritualnya sendiri. Mengadukan kerinduan pada sosok-sosok yang hilang sebelum sempat ia temui. Sosok ayah sebagai curahan lelah, sosok ibu sebagai aduan rindu. Sosok yang belum pernah ia rasakan sentuhan kasihnya. Hanya itu. Pada dasarnya, tak banyak alasan baginya untuk bersedih-sedih tapi hati seseorang siapa yang tahu. Boleh wajah ceria, hati luka siapa yang tahu. Boleh bibir tersenyum, hati menangis juga tak ada yang tahu. Bagaimana pun, Milati adalah gadis yang sudah cukup banyak belajar mengendalikan diri dan hati sehingga segala kesedihan itu hamper hampir tidak terlukis di wajahnya, kecuali pada saat-saat tertentu. “Milati, Bu Nyai memintamu menemuinya! Sekarang!” Teriakan keras itu menyambar tiba-tiba, membuyarkan kedekatannya dengan langit, keasyikannya dengan angin. Suara itu bagaikan petir yang kecil berkilat tapi cukup untuk membuatnya tersentak dari lamunan. Ia membenci itu, tapi sekadarnya saja. Ia tak lagi asing dengan suara parau yang meneriaki namanya dari bawah sana. Ia adalah Syaqib, yang sama seperti dirinya dalam segala hal, juga kehidupannya yang bebas terlepas sejak kecil tanpa kedua orangtua. Milati tak heran kalau suara yang berteriak di bawah ialah Syaqib, hanya dia yang tahu dan mau tahu segala tentang dirinya. Takkan ada orang yang tahu di mana Milati menghabiskan sorenya selain Syaqib.

Detail Buku:
Judul         : Dan Burung-Burung Pun Pulang ke Sarangnya
Penulis      : Mashdar Zainal
Penerbit     : PT Elex Media Komputindo,
ISBN         :978-602-02-4294-1
Tebal         : 368 hlm
Download      : Google Drive


Tidak ada komentar:

Posting Komentar