Sinopsis :
FAY REGINA MCGALLAGHAN mencoba menggerakkan kelopak mata ketika telinganya mendengar suara alarm jam beker. Pemandangan pertama yang tertangkap secara samar-samar oleh matanya yang mengintip malas dari balik kelopak adalah helaian helaian kain tipis yang mengitari tempat tidur, diterangi cahaya lembut yang menyisip dari bawah pintu balkon. Ia kembali menutup mata lalu menggeliat tanpa mematikan alarm, membiarkan bunyi mirip dentang lonceng yang bertalu-talu mengiringi gerakannya meregangkan tubuh. Setelah empat kali menggeliat ke kanan dan ke kiri, barulah ia membuka mata dan mengulurkan tangan ke meja nakas di sebelah tempat tidur untuk mematikan alarm. Hanya perlu satu tekanan ringan pada tombol bulat yang mencuat pada jam, dan kesunyian kembali menyergap. Sekilas ia melirik jam, pukul 06.00. Ia mencoba mengingat-ingat kenapa menyetel alarm pukul 06.00—selama ini ia bangun pukul 07.00. Kalau saja ada Mbok Hanim, pengurus rumahnya di Jakarta dulu, ia pasti disindir karena bangun setelah posisi matahari meninggi, yang berarti ia melewatkan waktu shalat Subuh. ”Wah, Neng Fay rajin ya, bangun untuk shalat Duha.” Shalat Duha adalah shalat yang dilakukan di rentang waktu antara pukul tujuh hingga sebelas siang, dan tidak wajib. Jadi, sebenarnya ia shalat karena ingat Tuhan atau karena ingat Mbok Hanim?
Fay tersenyum. Kangen juga sama si mbok, pikirnya sambil menyisipkan tangan di antara dua bantal dan mengelus-elus permukaan seprai yang lembut. Ia baru saja berniat menutup mata lagi, namun langsung tersentak ketika tiba-tiba saja benaknya mencetuskan alas an beker disetel pukul 06.00. Pamannya, Andrew McGallaghan, semalam tiba dari London dan pagi ini ingin bicara dengannya sebelum sarapan. Fay langsung bangkit, menyingkap selimut berwarna dasar biru beraksen keemasan yang dihiasi bordir bunga lili putih dan sehelai kain tipis persegi yang dihiasi sulaman lambang cakram dengan benang emas. Ia berjalan menuju pintu tinggi di sebelah kanan tempat tidurnya yang mengarah ke balkon sambil berpikir, bagaimana mungkin ingatan akan pamannya lebih punya kuasa untuk memaksanya bangun pagi dibanding dengan ingatan akan Tuhan? Kacau sekali! Dengan satu sentakan di gagang pintu, kedua daun pintu langsung terbentang. Angin pagi hari yang sejuk menerpa wajah, membawa serta aroma rumput dan dedaunan yang basah berembun. Di sebelah kiri terlihat hamparan pohon tinggi yang bergerombol seperti hutan kecil. Pucuk-pucuk pohon membentuk horizon bergelombang
yang terlihat bagai tepi langit. Kediaman yang lebih cocok disebut kastil ini berbentuk huruf U,
dan terdiri atas empat lantai, terkecuali di beberapa bagian yang menjulang lebih tinggi seperti menara. Ruang-ruang umum yang laiknya ada di sebuah kediaman, seperti ruang tamu, ruang keluarga, ruang makan, dan dapur, berlokasi di lantai satu. Semua kamar berada di lantai dua, menempati dua sayap bangunan yang berseberangan. Pengaturan kamar tidak dilakukan secara acak. Setiap keponakan diawasi oleh dua orang paman, satu sebagai main handler atau pengawas utama, dan yang lain sebagai second handler atau pengawas kedua. Kamar-kamar diatur sehingga setiap keponakan berada di sayap bangunan yang sama dengan pengawas utama masingmasing. Fay berdiri di balkon, sejenak menikmati kesejukan dan suara- suara ramah yang ditawarkan pagi hari yang cerah di bawah naungan langit biru yang pagi ini tak dihiasi sebercak awan pun. Kamarnya menempati sayap kiri kastil, dengan balkon mengarah ke sisi dalam. Dari tempatnya berdiri sekarang ia bisa melihat pemandangan menakjubkan di lantai satu: sebuah taman di tengah-tengah kastil, dengan tanaman-tanaman rapat setinggi tiga meter disusun membentuk labirin, menuju sebuah gazebo di bagian tengah taman. Fay ingat, di minggu pertama menempati kastil ini sering kali ia duduk di bangku gazebo seorang diri sambil tepekur. Berbagai pertanyaan yang disuarakan dalam kepalanya bagaikan tangan-tangan kesedihan yang menggerayangi hatinya dan siap mencabiknya kapan saja. Kenapa orangtuanya dijemput kematian? Apa yang terjadi pada mereka setelah kematian menjemput? Apa maksud semua yang ia alami? Kenapa Tuhan seperti senang sekali mempermainkan nasibnya? Ia tahu Tuhan telah memberi pengganti keluarganya yang telah tiada, tapi pengetahuan itu pun tak mampu menepis perasaan bahwa ia sebatang kara.
Detail Buku:
Judul : TRACES OF LOVE
Penulis : Clio Freya
Penulis : Clio Freya
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
ISBN :978 - 602 - 03 - 0870 - 8
Tebal : 416 hlm
ISBN :978 - 602 - 03 - 0870 - 8
Tebal : 416 hlm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar