Warisan Masa Silam by V. Lestari

Warisan Masa Silam by V. Lestari

BOLA sepak berwarna putih dekil itu melayang tinggi melewati pagar sebuah rumah besar lalu mendarat entah di mana. Tak kelihatan lagi. ”Gila lu! Jauh banget nyepaknya!” seru Dono. ”Hebat, kan?” kata Kiki bangga. ”Hebat apaan? Ilang dah bolanya!” bentak Madi kesal. Dia pemilik bola. ”Nggak mungkin ilang. Ada di dalam kok,” bantah Kiki. ”Tapi mana? Nggak kelihatan tuh,” kata Gilang. ”Kayaknya tadi nyemplung di semak-semak sana itu.” Fani menunjuk ke sudut pekarangan sebelah kiri yang rimbun dengan tanaman kembang sepatu berwarna merah. Dia, adik Kiki, adalah satu-satunya anak perempuan di kelompoknya Mereka berlima, para pemain bola jalanan, berderet di depan pintu gerbang sebuah rumah besar yang tampak sepi. Kelimanya memegang pagar dengan dua tangan dan melayangkan pandang ke segala penjuru Untuk sesaat mereka terpesona dan melupakan bola tadi. Mereka berhadapan dengan bagian depan rumah itu. Hanya pintu gerbang yang memiliki celah di antara jerujinya hingga memungkinkan mereka melihat ke dalam. Sepanjang pagar ke kiri dan kanannya tak memiliki celah di antara jeruji karena rapat tertutup oleh tanaman pagar. Bangunan besar itu sebuah rumah kuno dengan pilar-pilar tinggi, menyangga plafon yang tinggi. Pintu utamanya besar dengan dua daun pintu berikut jendela-jendela yang juga besar di kiri dan kanannya. Di bagian samping rumah yang posisinya lebih masuk ke dalam juga terdapat pintu dan jendela. Warna peliturnya cokelat tua, terlihat mengilap di bawah penerangan lampu teras. Dindingnya berwarna putih. Sebelah kiri dan kanan rumah bagian depan lebih menonjol ke depan membentuk setengah lingkaran yang didereti jendela-jendela kecil memanjang ke atas berlapis kaca patri dengan motif bunga lili aneka warna. Karena di bagian dalam ada lampu yang menyala terang, maka lukisan di kaca itu jadi kelihatan lebih jelas. Rumah itu, termasuk beberapa rumah lain di kawasan yang sama, merupakan cagar budaya di Jakarta. Jadi tak diperkenankan untuk dibongkar atau diubah bentuk aslinya. Yang dibolehkan hanya merenovasi bila ada kerusakan atau kerapuhan karena termakan usia, tanpa mengubah bentuk. Anak-anak itu sudah beberapa kali bermain bola di jalanan itu tanpa pernah memperhatikan rumah-rumah di kawasan tersebut. Mereka sendiri bukan warga daerah yang merupakan pemukiman elite itu; mereka tinggal di pemukiman berseberangan, yang merupakan
pemukiman baru berasal dari tanah kosong bekas kebun yang tak lagi diolah. Jadi keduanya kontras. Yang satu pemukiman kuno tapi elit, yang lainnya pemukiman baru tapi sederhana. Jalanan di situ sepi hingga dianggap ideal bila dijadikan lapangan sementara. Bila sesekali ada mobil melintas mereka bisa segera menepi. Bukan hanya idealnya saja yang membuat mereka senang bermain di situ, tapi juga karena sampai saat itu belum ada yang melarang. Mereka baru mencari tempat lain jika nanti sudah ada pelarangan bermain di kawasan tersebut. ”Wah, bagus sekali ya? Kayak istana,” decah kagum Fani. ”Kata bapakku, umurnya udah lebih dari seratus tahun. Dari zaman Belanda,” kata Madi. ”Gede banget! Garasinya aja lebih gede dari rumahku,” kata Gilang. ”Orang Belanda kan gede-gede,” kata Fani, disambut tawa yang lain. ”Emangnya raksasa?” kata Kiki. ”Ah, emang gede, kan? Makanya mereka bisa menjajah kita begitu lama,” kata Fani. ”Tahu, nggak? Kalau kita tinggal di situ, bisa main bola di dalam!” seru Gilang. Semuanya terdiam sejenak. Bukan membenarkan ucapan Gilang, tapi mengingatkan akan tujuan semula.  Apalagi Madi. Bolanya!


Detail Buku:
Judul         :Warisa Masa Silam
Penulis      : V. Lestari
Penerbit     : PT Gramedia Pustaka Utama
ISBN         :
978 - 979 - 22 - 9147 - 6
Tebal         : 672 hlm
Download      : Google Drive


Tidak ada komentar:

Posting Komentar