Ruangan itu terasa senyap. Hanya ada sepi, dan dirinya yang masih berdiri diam di ambang pintu, menatap sudut-sudut gelap. Matanya seakan telah terbiasa dengan celah-celah ruang hingga ia bisa melihat perabot-perabot rumah yang tertutup debu tebal. Sofa tua dan mejanya yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Kursi santai dan lemari jati di ujung ruangan. Sebuah lukisan di dinding yang sedikit miring karena angin. Juga meja makan besar dengan taplak yang terurai sampai ke bawah. Sejenak, ia masih berdiri mengencangkan jaketnya. Sejak tadi, di perjalanan menuju ke rumah ini, embusan angina kencang yang membawa hawa dingin tak henti menamparnamparnya. Untunglah, angin seperti berubah rupa saat ia sampai di ambang pintu rumah. Tembok tua rumah ini memang masih bisa menahan terpaannya, namun dari celah-celah sempit jendela, pintu, dan lubang angin, sebagian tetap berhasil lolos. Kali ini tak hanya mengembuskan hawa dingin, tapi juga debu-debu yang menebali seluruh isi rumah ini. Bahkan, angin yang berhasil melalui celah-celah sempit itu, kemudian menimbulkan bunyi-bunyi seakan siulan panjang yang tak henti-henti. Tapi itu semua tak urung membuatnya terus melangkah ke dalam. Langkahnya sangat perlahan, seakan tak ingin jejaknya bertanda di lantai yang berdebu.
Beberapa garis cahaya menerobos samar dari lubang-lubang angin, seakan ingin menuntun langkahnya yang terasa rapuh. Ya rapuh, ingga suara apa pun yang tertangkap di telinganya, selalu membuatnya terhenti dan menahan napas sejenak! Kini, ia menghentikan langkahnya di depan meja makan besar yang taplaknya terurai hingga di lantai. Lalu, di antara temaram di sekelilingnya, dipandanginya lekat-lekat meja itu, seakan-akan ada sesuatu yang terlihat di sana. Tanpa disadarinya, angin yang sejak tadi berembus menaburkan debu dan menimbulkan siulan-siulan panjang, tiba-tiba terhenti. Semua seakan menepi. Namun entah mengapa, di saat seperti itulah tubuhnya mendadak terasa menggigil. Tangannya yang berusaha terangkat, ingin menyentuh meja yang masih selangkah di depannya, tampak bergetar. Airmatanya begitu saja menggenang di pelupuk matanya. Dan seiring luruhnya satu titik air mata membelah pipinya, bibirnya bergetar. Marga, engkau masih di sini bukan? Hasha
miles away from light at noon total eclipse of the moon many reasons to believe in life just listen what it`s telling you
Beberapa garis cahaya menerobos samar dari lubang-lubang angin, seakan ingin menuntun langkahnya yang terasa rapuh. Ya rapuh, ingga suara apa pun yang tertangkap di telinganya, selalu membuatnya terhenti dan menahan napas sejenak! Kini, ia menghentikan langkahnya di depan meja makan besar yang taplaknya terurai hingga di lantai. Lalu, di antara temaram di sekelilingnya, dipandanginya lekat-lekat meja itu, seakan-akan ada sesuatu yang terlihat di sana. Tanpa disadarinya, angin yang sejak tadi berembus menaburkan debu dan menimbulkan siulan-siulan panjang, tiba-tiba terhenti. Semua seakan menepi. Namun entah mengapa, di saat seperti itulah tubuhnya mendadak terasa menggigil. Tangannya yang berusaha terangkat, ingin menyentuh meja yang masih selangkah di depannya, tampak bergetar. Airmatanya begitu saja menggenang di pelupuk matanya. Dan seiring luruhnya satu titik air mata membelah pipinya, bibirnya bergetar. Marga, engkau masih di sini bukan? Hasha
miles away from light at noon total eclipse of the moon many reasons to believe in life just listen what it`s telling you
Sebenarnya malam ini aku hanya ingin bicara pada lilin-lilin. Berdua saja, tanpa ada yang lain, dalam temaram yang sudah kuakrabi setiap sudutnya. Ini adalah kebiasaan lamaku. Namun telah lama tak lagi kulakukan. Entah mengapa, malam ini, tiba-tiba saja aku kembali ingin melakukannya. Terlebih sejak aku membeli beberapa lilin aroma terapi di pinggiran Nonongan beberapa hari lalu. Aku ingat, dulu, aku kerap membiarkan kamar kosku gelap tanpa cahaya. Teman-teman selalu menyangka aku tidur lebih dini. Tapi sebenarnya aku sekadar berdiam diri di kamarku. Memperhatikan geliat api dari sumbu lilin yang seakan menari di depanku. Lalu begitu saja, aku mengajaknya bicara. Ah, tidak-tidak, lebih tepat membatin mungkin. Ini mungkin terdengar sedikit tidak biasa, tapi aku merasa melakukan sesuatu hal yang wajar. Seperti bocah-bocah yang berbicara dengan mainannya, atau orang-orang yang membatin tentang penampilannya saat bercermin. Aku melakukan hal yang mungkin sedikit lebih wajar dibanding mereka. Aku menunggu respons dari batin, karena gerak api yang halus selalu kuanggap sebagai ekspresinya. Jawabannya. Tapi tetap saja, ini sebenarnya sedikit memalukan. Tapi aku selalu berdalih seperti pepatah Cina yang pernah kudengar; lebih baik menyalakan lilin daripada mengeluh pada kegelapan. Aku tak ingin berkonotasi macam-macam terhadap maknanya, hanya sekadar
Detail Buku:
Judul : Enigma
Penulis : Yudhi Herwibowo
Penulis : Yudhi Herwibowo
Penerbit : PT Grasindo
ISBN :-
Tebal : -
ISBN :-
Tebal : -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar