Angin kering utara itu menampar mukaku. Pipiku terasa panas. Pohon rindang yang menaungiku dari terik matahari tak bertahan lama. Bayangannya bergeser. Sebab panas dan terik, rasa gerah merajam perlahan- lahan kepalaku. Namun dari segala rupa cuaca jahanam ini tak begitu kupedulikan. Ia serupa angina mengipas sekam yang telah membara di dada. Pikiranku mengeras atas segala peristiwa. Ingatan ingatan buruk lalu-lalang menikam benakku. Kematian ayah, nenek, dan adi kembarku. Apa yang bisa aku lakukan selain melepas satu per satu ingatan buruk itu? Melepaskannya seperti burung-burung yang bebas menjaring udara. Tinggal ibu di sampingku. Sedang kakak-kakakku, uhh… mereka terlalu memikirkan diri sendiri.
Kadang aku melihat bara persaingan diantara mereka. Aku tak pernah suka itu, aku lebih senang cahaya persaudaraan. Tentang ayah, mengingatnya membuat hatiku pedih, tapi aku percaya satu saat nanti, aku akan cerita. Saat ini, aku lebih suka menyimpan dan mengingatnya
kembali sekeping kenangan indah bersamanya. Biasanya aku kan sembunyi di kolong tempat tidur sembari mengingat saat kami melayang di atas roda menggerus jalan. Kencang melaju menyusuri tanah becek akibat hujan. Senang rasanya melihat baju berkibar-kibar diterpa angin karenanya. Seringnya, aku tertidur di kolong itu. Masuk ke alam mimpi bersama adi kembarku. Ia mengajakku bermain; layang-layang, gundu, berenang di sungai. Sungai! Ya, sore itu kami bermain air di sungai. Malamnya tubuh adi kembarku panas meninggi. Tapi kata dokter bukan karena air sungai itu adi kembarku meninggal melainkan karena gigitan nyamuk. Tidak demikian menurut ibu. Katanya; ratu dhayangan sungai tengah berhajat mencari prajurit dari bangsa manusia atau meminta adi kembarku menjadi anak asuhnya. Berita yang sama aku dengar dari para tetangga. Bahwa seseorang tengah memasang sesajen di bawah pohon klampis ireng pinggir kali sebelah selatan. Usai melakukan ritual pesugihan, ia melepas dhayangannya untuk mencari makanan sendiri. Dan bocah yang kebetulan bermain di sungai akan sial karena menjadi “makanan” dhayangan itu. Ketika itu, aku dan adi kembarku melewati
pohon klampis ireng. Aku melihat uang logam tercecer di samping bunga-bunga yang tersebar. Tampak pincuk daun pisang, jadah ketan, uwi, mbili, dan umbiumbian lain. Aku mencium bau dupa kemenyan dan terus berjalan. Tetapi adi kembarku tertarik dengan sesajen itu. Dan sempat mengambil beberapa uang logam .Lalu kami pergi ke sungai dan memainkannya.Saat asyik-asyiknya berenang, kakiku tiba-tiba disedot pusaran air yang membetot kuat! Aku berontak, terus berontak, dan beruntung mampu keluar dari pusaran itu, seperti ada tenaga yang menarik tanganku. Tapi, Adi kembarku hilang! Hari berikutnya kami mencarinya, berhari-hari kami mencarinya, sampai kami merasa putus asa. Akhirnya kami harus merelakannya. Kami pun menaburkan bunga di sungai sebagai pusara. Tetapi di kemudian hari, aku menemukannya dalam sosok lain yang selalu menolongku di saat-saat genting. Tentang nenek, kalian tahu? Ia sangat saying kepadaku. Ia membuat iri semua kakak-kakakku. Karena setiap pulang dari pasar lebih dari separo jajan pasti ia berikan padaku, dan sisanya baru dibagi pada
kakak-kakak. Aku selalu girang melihatnya pulang, menerima jajanan yang banyak, dan memamerkannya pada kakak-kakakku. Lalu aku akan melihat kilatan aneh pada mata mereka. Aku tertawa menang, lalu lari dan membagikannya pada temanku yang putih itu Kalian tentu tahu, ia bernama Mei Ling, kupanggil Mei. Aku senang bermain dengannya karena ia selalu mengajakku ke rumahnya untuk bermain game niTendo. Tentu secara sembunyi-sembunyi karena
Detail Buku:
Judul : Tembang Tolak Bala
Penulis : Han Gagas
Penerbit : Pustaka Sastra LKiS Yogyakarta
ISBN :979-25-5342-8
Tebal : 214 hlm
ISBN :979-25-5342-8
Tebal : 214 hlm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar