Awan gelap seolah menggantung di atas langit sebuah desa yang subur dan makmur. Suasana yang senyap membuat enggan untuk memandang, bahkan walau hanya sebentar. Seorang wanita dan lima anak laki-laki, berjalan di jalan setapak menuju desa itu. Dari tempatnya berjalan, mereka dapat dengan leluasa memperhatikan desa tersebut, karena mereka berjalan di sisi pinggir pegunungan, yang lebih tinggi dari desa tersebut. Keringat dan peluh membasahi kain mereka yang telah menjadi kumal. Wajah wajah yang hitam dan berdebu, membuat mereka semakin terlihat lusuh. Keletihan menghinggapi diri mereka. Kain kain yang mereka kenakan, tak hanya lusuh oleh keringat dan debu, namun disana sini terlihat juga bekas bekas jilatan api hingga menghitam bahkan robek. Wanita itu, demikian terlihat letihnya, hingga kadang jalannya terseok seok dan tertatih tatih, bahkan beberapa kali hilang keseimbangan dan hampir jatuh. Seorang anak laki-laki yang mempunyai tubuh paling besar diantara mereka, dengan sigap meraih tubuh wanita itu, dan kemudian di angkatnya, dan di dudukkannya di pundak kanannya. Tangan kanannya yang sangat kuat, bagai sebuah kayu yang dapat menjadi sandaran bagi tubuh wanita itu untuk dapat beristirahat, karena memang tak mungkin mereka berhenti sejenak walaupun hanya untuk sekedar istirahat. Sementara dua anak laki-laki yang berperawakan sedang, dengan wajah dan tubuh yang hampir sama, tak kalah menyedihkannya pula. Beberapa kali mereka merengek pada saudaranya. Lapar dan haus telah mendera mereka. Hal ini membuat mereka berenam menjadi semakin gundah. Gundah akan keadaan mereka sendiri yang tidaklah begitu baik, dan kini saudara termuda mereka juga mengalami hal yang demikian. Keduanya selalu berdekatan dengan satu orang lagi yang berwajah tampan diantara mereka. Dia selalu menggandeng tangan mereka di kiri dan di kanan. Dia berjalan agak lebih di depan, mendampingi seorang lagi yang berperawakan hampir sama dengannya, namun dia lebih terlihat sangat bijaksana. Dia berjalan satu satu, melihat dan memperhatikan segala sesuatu di sekitarnya. “Kakang Puntadewa, berhentilah Kakang ” kata wanita yang duduk diatas pundak laki-laki bertubuh besar itu. “Sena turunkan aku ” pinta wanita itu kemudian kepada laki-laki bertubuh besar itu. “Baik Kakang Mbok ” katanya sambil menurunkan tubuh wanita itu ke tanah, hampir bersamaan dengan kata kata Puntadewa. Puntadewapun kemudian berhenti dan menghadap istrinya. “Puntadewa, berhentilah sejenak. Aku melihat terdapat sebuah rumah di depan jalanan ini, mungkin kita dapat mencari tahu tentang desa di bawah itu….” Kata wanita itu. “Baiklah Diajeng …” jawab Puntadewa. “Lagipula, lihatlah Si Kembar adikmu. Mereka letih, lapar dan dahaga. Mereka tak sekuat kalian….” Katanya kemudian. “Arjuna, biarkan mereka kemari….” Pintanya pada Arjuna yang dari tadi menggandeng tangan Si Kembar, Nakula dan Sadewa. “Kakang Mbok……” kata mereka berdua lirih. Dewi Drupadi, sang kakak ipar, isteri dari kakak sulungnya, Puntadewa, membelai kedua kepala anak itu, sambil memeluknya erat erat. Air mata Dewi Drupadi menetesi kedua pundak anak kembar itu. Tangisnya terisak isak, hingga tak satu pun kata kata mampu keluar dari mulutnya. “Lihatlah rumah di depan itu, adakah rumah itu berpenghuni. Biarlah kita istirahat barang sebentar di rumah itu.” Kata Dewi Drupadi. Tanpa disuruh untuk kedua kalinya, Arjuna dan Sena segera melangkah maju untuk melihat dari dekat rumah sederhana yang terlihat tak begitu terurus. Sementara Puntadewa masih berdiri, menemani Dewi Drupadi yang masih memeluk Nakula dan Sadewa. Beberapa saat berjalan, Arjuna dan Sena tiba di rumah tersebut. Rumah yang terbuat dari bambu dan kayu, yang sangat sederhana. Melihat debu debu yang menempel di dinding, serta halaman yang penuh dengan daun daun kering, sarang laba laba di setiap sudut, mereka yakin bahwa rumah itu telah ditinggalkan oleh pemiliknya. Dengan isyarat tangan, Arjuna dan Sena memanggil Puntadewa yang mengawasi mereka dari kejauhan. Melihat isyarat tangan tersebut, Puntadewa kemudian mengajak Dewi Drupadi serta Kembar untuk segera menyusul Arjuna dan Sena. Setelah tiba di rumah itu, mereka pun beristirahat sejenak, di balai balai yang terletak di sudut beranda rumah itu. Walaupun kotor dan berdebu, mereka sangat bersyukur telah menemukan tempat untuk melepas lelah barang sebentar. Arjuna dan Sena kemudian berputar mengelilingi rumah itu untuk mencari setidaknya air yang dapat mereka gunakan untuk membasahi tenggorokan mereka. “Kakang Puntadewa, adakah seseorang yang masih tinggal di rumah ini?” bertanya Dewi Drupadi.
Detail Buku:
Judul : The Expendables Of Kurusetra (Tujuh Bunga Pandawa)
Penulis : Ony Dwi Raharjo
Penerbit : PT. Woolu Aksara Maya
ISBN :-
Tebal : -
ISBN :-
Tebal : -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar