Sinopsis :
Pengelana Mati dalam Hikayat Kami Kepada mereka, ingin kukenalkan dirimu. Karena kau adalah mula segala cerita dan hikayat di atas hikayat. Ini tentang raibnya tukang kawin yang paling kerap menghampiri punggung Bukit Siguntang yang kehilangan pita suara sejak pertama kali Tuhan onggokkan di tanah lahir kami. Tukang kawin itu pada mulanya bukan tukang kawin, melainkan seorang pujangga yang dicinta-gilai oleh rerimbun kecubung dan semak-semak yang kehilangan nama. Dan pujangga itu, bukan seorang pengarang atau perawi sajak-sajak dari Tanah Melayu, melainkan pengelana yang paling tangguh setelah nabi-nabi. Tentu saja bukan pengelana sembarang pengelana, melainkan pengelana cinta. Dan pengelana cinta itu adalah kau!
Pengelana Mati dalam Hikayat Kami Kepada mereka, ingin kukenalkan dirimu. Karena kau adalah mula segala cerita dan hikayat di atas hikayat. Ini tentang raibnya tukang kawin yang paling kerap menghampiri punggung Bukit Siguntang yang kehilangan pita suara sejak pertama kali Tuhan onggokkan di tanah lahir kami. Tukang kawin itu pada mulanya bukan tukang kawin, melainkan seorang pujangga yang dicinta-gilai oleh rerimbun kecubung dan semak-semak yang kehilangan nama. Dan pujangga itu, bukan seorang pengarang atau perawi sajak-sajak dari Tanah Melayu, melainkan pengelana yang paling tangguh setelah nabi-nabi. Tentu saja bukan pengelana sembarang pengelana, melainkan pengelana cinta. Dan pengelana cinta itu Itulah sebabnya kuceritakan ini. ENTAH BAGAIMANA, KAU singgah di sebuah rimba karet di Belalau, daerah di tepi Jalan Lintas Sumatera. Kau masuk ke dalamnya. Apakah begini tabiat seorang pengelana? Kaususuri rimbun ilalang dan rumput kanji, semak putri malu dan batang-batang buah pena yang menyerupai kerimunting merangas, dan cendawan-cendawan yang menumpang bernaung di tunggul-tunggul yang kehilangan nyawa. Kau menebas-terabas semuanya seolah kau hafal seluk-beluk rimba itu, padahal paha hingga kakimu hanya dilapisi jins belel dan sepatu jelajah dari kulit buaya. Memasuki rimba adalah mengarungi hidup, ujarmu suatu hari ketika beberapa orang menanyakan kegemaranmu mengelana. Tak usah banyak berpikir untuk menjalaninya. Saya sudah diembuskan ke bumi ini, pun kalian. Tak ada alasan untuk memikirkan banyak hal. Bukankah kecakapan paling didambakan adalah ketika melakukan banyak hal tanpa harus berpikir lebih dulu; seperti mengikat tali sepatu, seperti menebas semak, seperti menginjak rumputrumput yang berpelukan, seperti menginjak jamur-jamur yang seolah tak punya bilik yang layak untuk berkembangbiak? Ya, kau tampak sangat cuek, sekilas. Namun begitu, tak banyak yang tahu kalau kau juga memiliki sisi kehidupan yang lain; perasaan yang halus dan selalu sarat filosofi. Setiap bunga yang kautemui, kau pandang dengan sorot mesra, seolah mereka adalah para bidadari yang terperangkap dalam mahkota. Ah, bahkan kepada bebunga pun nalu- ri liarmu tak bisa kausembunyikan. Kau juga merasa perlu memejamkan mata ketika menciumnya demi menunjukkan betapa kau melakukannya dengan sepenuh jiwa. Lalu sorot matamu meredup. Kau bagai menyampaikan permintaan maaf yang mendalam. Begitulah yang kaulakukan ketika akan memetik bunga-bunga, termasuk bunga kecubung. Bunga kecubung memang selalu menarik perhatianmu. Menurutmu, kecubung adalah bunga yang paling rendah hati. Ketika bunga-bunga lain berlomba memamerkan cerlang warna dan lekuk mahkota kepada matahari, ia malah sebaliknya; lingkar mahkotanya yang bergelombang adalah rok noni Belanda yang landung, mekar menunduk mencari tanah yang terselimuti daun-daunnya yang gugur. Bagimu, kecubung juga teladan yang paling indah untuk kebersamaan dan kesetiakawanan. Lihatlah, batinmu entah kepada siapa, kecubung tak pernah mekar sendiri- sendiri. Mereka melakukan banyak hal bersama-sama. Menguncup bersama. Mekar bersama. Gugur pun begitu. Hebatnya, batangnya tak pernah sepi dari bunga. Selalu saja, bila segerombol bunga sudah luruh, payung-payung hijau bening yang dibuka terbalik sudah bergelantungan di cabang-cabangnya yang berair pada esok paginya. Kecubung adalah bagaimana seharusnya para pemuda dipersiapkan dan dimunculkan dengan penuh perhitungan, gumammu seperti berbisik kepada tumbuhan-tumbuhan lain. Maka, bila mendapati kecubung bermekar, kau bukan hanya memetiknya, tapi juga akan kembali esok hari, esok harinya lagi, atau esok harinya lagi, sampai bunganya berganti dengan kecubung-kecubung yang lain. adalah kau!
Detail Buku:
Judul : Cinta Tak Pernah Tua
Penulis : Benny Arnas
Penulis : Benny Arnas
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
ISBN :978-602-03-0899-9
Tebal : -
ISBN :978-602-03-0899-9
Tebal : -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar