Milea: Suara Dari Dilan by Pidi Baiq

Milea: Suara Dari Dilan by Pidi Baiq

Langsung saja. Namaku Dilan, jenis kelamin laki-laki, bernapas menggunakan paru-paru, sama seperti seeker paus. Pada 1977, kira-kira waktu masih umur 5 tahun, pernah ingin jadi macan, tapi itu gak mungkin kata nenekku. Nenek tersenyum, sedangkan aku kecewa. Aku lahir di Bandung, dari seorang ibu yang oleh anaknya dipanggil Bunda, kecuali kalau akunya sedang mau minta uang, aku memanggilnya "Bundahara" (se­perti yang sudah Lia ceritakan di dalam buku itu). Tapi, aku pernah sekali memanggilnya Sari Bunda, yaitu pada kasus di saat aku ingin makan. Asal tahu saja, ibuku, Si Bunda itu adalah Pujake­suma, tetapi bukan bunga, melainkan akronim dari Putri Jawa Kelahiran Sumatra karena dia lahir di Aceh, tepatnya di Kota Sigli, ibu kota Kabupaten Pidie. Dia alumnus IKIP Bandung, Jurusan Sastra dan Bahasa. Ayahnya seorang guru SD, yang dulu di daerahnya dikenal sebagai seorang penyair kelas lokal. Sejak menikah dengan Ayah, dia selalu dibawa-bawa pindah, yaitu ke berbagai daerah di Indonesia. Hidup ini, kata Einstein, bagai naik sepeda, untuk tetap bisa berada di dalam keseimbangan, kau harus terus bergerak. Tapi, bukan karena teori itu ayahku pindah, melainkan karena tugas dari komandan, salah satunya ke daerah Teluk Jambe, di Karawang. Waktu aku duduk di kelas 3 SD, kami pernah ting­gal di Kabupaten Manatuto, salah satu kota di daerah Timer-Timur yang dulu masih bagian dari wilayah Indo­nesia sebagai salah satu provinsi. Aku jadi sedikit bisa bahasa Tetum, yaitu bahasa umum yang sering dipakai di Timor-Timur. "Bunda, hau harakak hemu!" kataku sepulang dari main ke muara Sungai Rib Lacio yang indah. Hidup berkembang, di saat anak-anak sudah mulai tumbuh besar, Bunda sudah merasa cukup baik untuk memilih tinggal di Bandung, yaitu di kota tempat dulu dia kuliah, sekaligus menjadi mungkin untuk bisa lebih dekat dengan saudara-saudara ayahku yang pada tinggal di Bandung karena ayahku adalah asli orang Bandung. Waktu aku duduk di kelas 5 SD, Ayah membeli ru­mah di kompleks perumahan Riung Bandung, sebagai salah satu fasilitas untuk membangun rumah tangga yang sakinah dan mawadah di bawah iringan lagu-lagu Rolling Stones kesukaan Si Bunda, dan suara gelak tawa dari kawan-kawan masa kuliahnya kalau mereka sedang pada ngumpul di rumah sambil menikmati Teri Tokok khas Aceh gratis. Si Bunda tidak bisa ikut Ayah yang harus tinggal di rumah dinasnya di Karawang karena harus ngajar di salah satu SMA yang ada di Bandung. Melalui semua itu, kami hanya bisa bertemu Ayah kalau Ayah pulang ke Bandung, yaitu setiap dia bebas tugas atau karena ambil cuti. Awalnya, Si Bunda hanya guru biasa yang mengajar bahasa Indonesia. Entah bagaimana, pada 1989, dia naik jabatan menjadi seorang kepala sekolah di salah satu SMA yang ada di Bandung. Mengenai soal ini, ada yang harus aku syukuri, yaitu: Si Bunda bukan kepala sekolah di SMA-ku. Sebab kalau, iya, pernah aku bayangkan kalau aku bolos, aku akan dimarah dua kali, ya, di sekolah, ya, di rumah. pai membahasnya banyak-banyak, biar buku ini tidak melenceng menjadi buku biografi Si Bunda. Apalagi Lia sudah bercerita cukup banyak tentang Si Bunda di dalam buku "Dilan, dia adalah Dilanku". Pokoknya, Bunda adalah sumber kenyamananku. Dia memanggil kami dengan menyebut kami: "Anak Bunda", dan dia menganggap itu sebagai suatu penghormatan untuk dia menjadi bisa bilang: "Anak Bunda, mari bantu Bunda membersihkan kamar mandi."

Detail Buku:
Judul         : Milea: Suara Dari Dilan
Penulis      : Pidi Baiq
Penerbit     : -
ISBN         :-
Tebal         :
-
Download      : GoogleDrive


Tidak ada komentar:

Posting Komentar