Pertempuran Sao Liang
Pada masa-masa akhir dari Dinasti Zhou Timur, tercatatlah 7 negara bagian dalam sejarah China yang masing-masing dipimpin oleh seorang penguasa yang biasanya dinobatkan dengan gelar adipati (duke). Masa ini dikenal dengan sebutan Warring States Period, 475 BC–221 BC. Tujuh negara bagian ini masing-masing adalah Negara Wei, Chu, Qi, Yan, Han, Zhao, dan Qin. Dalam periode ini setiap negara bagian saling serang untuk memperluas wilayah kekuasaannya. Di antara 7 negara bagian ini, Negara Wei termasuk negara bagian yang paling kuat—Raja Hui (370 BC–319 BC) dari Negara Wei tidak lagi menggunakan gelar adipati (duke) melainkan gelar raja (king). Tanah wilayah Negara Wei sangatlah subur dan perekonomiannya juga sangat maju apabila dibandingkan dengan negara bagian lainnya. Selain itu, Negara Wei juga memiliki armada perang paling besar, yakni sebanyak 400.000 prajurit. Negara Wei tampil sebagai negara adidaya pada masa itu, dan sering menyerang negara-negara bagian lainnya, terutama Negara Qin. Bertahun-tahun Negara Wei berusaha menaklukkan Negara Qin, namun
tidak pernah berhasil. Hal itu karena selain memiliki wilayah yang cenderung dikelilingi oleh pegunungan tinggi, setiap prajurit Qin pun juga memiliki ketangguhan yang luar biasa. Meskipun begitu, Raja Hui dari Negara Wei terlalu ambisius dan tidak pernah mengurungkan niatnya untuk menaklukkan Negara Qin. Akhirnya, diutuslah Gongshu Cuo, sang perdana menteri yang sekaligus menjabat panglima senior dengan segudang pengalaman dalam medan
pertempuran. Mengetahui lawannya mengutus seorang panglima dengan prestasi yang begitu luar biasa, maka Adipati Xian, penguasa Negara Qin, memutuskan maju ke medan perang untuk berhadapan langsung dengan Gongshu Cuo. Setelah beberapa kali pertempuran masih belum bisa dipastikan pihak mana yang menang. Namun, seiring dengan adanya perubahan cuaca yang kala itu mulai memasuki musim salju, kedua belah pihak sepakat untuk melakukan pertempuran terakhir untuk menentukan kemenangan yang puncaknya dikenal sebagai Pertempuran Sao Liang. Dalam pertempuran itu Gongshu Cuo ditawan oleh pihak Qin. Setelah
mengetahui Gongshu Cuo telah ditawan oleh pihak lawan, Gongzi Ang, adik Raja Hui, mengajukan diri untuk mengisi posisi panglima perang yang kosong tersebut untuk menjaga semangat tempur para prajurit. Setelah Negara Qin berhasil menawan panglima utama pihak lawan, Adipati Xian punya keinginan untuk langsung menyerbu perkemahan militer pasukan Wei. Namun, putra bungsunya tidak sependapat dan berkata, ”Menurut saya sekarang sebaiknya kita mundur dulu karena persediaan pangan dalam perkemahan sudah menipis.” Lanjut Pangeran Qiuliang, ”Selain itu, para prajurit juga terlalu letih sehingga mereka perlu waktu untuk istirahat agar kondisi fisik mereka pulih.” Namun, Pangeran Qian, putra sulung Adipati Xian, sebagai Panglima Utama Angkatan Perang Negara Qin, tidak sependapat dengan adiknya. ”Mana mungkin saat ini memerintahkan para pasukan untuk mundur, terutama setelah pihak kita berhasil menangkap Gongshu Cuo?” Biarpun dirinya hanyalah salah satu panglima dengan pangkat yang tidak terlalu tinggi, namun Pangeran Qiuliang dikenal sebagai seorang yang suka berterus terang sehingga tidak heran sering kali dirinya harus berselisih pendapat dengan kakaknya. ”Sebagai seorang Panglima Utama Angkatan Perang Negara Qin maka yang harus diperhatikan bukanlah hanya kemenangan sesaat, tapi lebih dari itu.” Tentu saja ucapan ini membuat amarah Pangeran Qian berkobar-kobar. Sambil menunjuk ke arah Pangeran Qiuliang ia berteriak, ”Lancang sekali. Beraninya kamu menggurui aku!” Melihat Panglima Utama meledak marah, para panglima yang hadir dalam rapat seketika membisu. Tak seorang pun berani bersuara, seakanakan mulut mereka terkunci. Namun, hal itu tidak mengurungkan niat Pangeran Qiuliang untuk melanjutkan bantahannya. ”Mohon maaf Panglima Utama. Saya tidak bermaksud untuk menggurui Anda.” Sebelum Pangeran Qiuliang selesai menyampaikan maksudnya, Pangeran Qian langsung memotong pembicaraannya. ”Sudahlah! Kamu diam saja.” Melihat keadaan mulai memanas akhirnya Adipati Xian pun berkata, Kalian berdua memiliki pandangan yang berbeda, namun tujuan kalian sama.” Sambil menggenggam erat-erat gulungan bambu dalam kedua tangannya, Adipati Xian berkata lagi, ”Qiuliang, INGATLAH. Ketika posisimu jauh lebih menguntungkan daripada lawanmu, manfaatkan kesempatan ini untuk membasmi mereka.”
Detail Buku:
Judul : Qin and Han Dynasty: Catatan Kisah Sejarah Dua Dinasti
Penulis : Halim Ivan
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
ISBN : 978–979–22–9093–6
Tebal : 464 hlm
ISBN : 978–979–22–9093–6
Tebal : 464 hlm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar