Sinopsis :
JENAZAH Pak Kirom sudah diusung oleh empat lelaki yang berdiri diam. Mereka belum bergerak sampai modin selesai memba ca kan doa-doa pengantar arwah. Pak Kirom, pensiunan man tri pasar, meninggal waktu subuh tadi pagi, kata orang karena serangan jantung. Salsi, anak bungsu Pak Kirom, terus menangis sambil mengamini doa Pak Modin. Suasana khusyuk dan lengang. Semua orang maklum mengapa Salsi terus menangis; siapa yang ti dak sedih karena ayahnya meninggal. Tetapi belum tentu semua orang tahu ada penyebab lain yang membuat kesedihan Salsi menjadi ber lipat, yakni celoteh para tetangga yang menyebut perkawinan Pak Kirom dengan Yu Jembar menjadi sebab kematiannya. Sebulan yang lalu Pak Kirom memang menikahi Yu Jembar, janda ber anak empat yang berjualan rujak di sudut perempatan kampung. Pe rempuan itu sudah lama menjanda, barangkali karena tidak ada lelaki yang siap menjadi ayah empat anak tiri. Usia Yu Jembar mungkin 40-an, dan Salsi tahu persis usia ayahnya, 67 tahun. Kebanyakan tetangga menertawakan keputusan Pak Kirom. Mereka bilang Pak Kirom lelaki tua yang tak tahu diri. “Sudah tua, jantungan pula, eh, me nikah lagi? Apa tidak salah?” ucap seorang tetangga. “Ah, Pak Kirom ada-ada saja! Sangat tidak pantas!” ujar tetangga yang lain. “Berjalan saja sudah tidak bisa tegak, lalu buat apa kawin lagi?”
Salsi menangkap celoteh-celoteh itu dengan perasaan masygul. Dan sejujurnya Salsi juga tidak setuju dengan kehendak ayahnya. Maka, dulu ketika ayahnya datang untuk memberitahukan maksudnya, Salsi berusaha merintangi. “Ayah tak usah begitu. Ayah dengar celoteh para tetangga?” “Ya, Ayah mendengar semuanya. Mereka semua memang punya mulut.” “Bukan begitu, Ayah. Saya dan suami jadi malu. Orang-orang tentu akan mengatakan kami tidak suka merawat Ayah sehingga Ayah ingin menikah lagi. Ayah memang sudah lama hidup seorang diri, tapi ma sa iya menikah lagi? Bukankah saya setiap hari mengirim makan pa gi, siang, malam, dan mengurus pakaian kotor Ayah?” “Ya, Ayah bersaksi, kamu dan suamimu, juga anak-anakmu, semua baik. Maka setiap malam Ayah berdoa agar hidup kalian diberkati. Hidup kalian yang berkecukupan ini tetap sentosa.” “Terima kasih, Ayah. Kalau memang demikian bukankah se muanya sudah cukup dan patut disyukuri? Lalu mengapa Ayah ingin menikah lagi? Ayah sudah tua dan kesehatan Ayah kurang baik.” Salsi ingat malam itu ayahnya diam, tidak menanggapi kata-katanya. Tatapan lelaki tua itu kelihatan kosong, alisnya merapat. Batukbatuk
kecil. Tanda-tanda ketuaannya mucul dengan sangat je las. Kepalanya menunduk. Tak lama kemudian lelaki itu bangkit dan berlalu tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Sambil berjalan menunduk Pak Kirom pulang. Salsi memandang ayah nya yang turun meninggalkan teras rumah. Makin jauh dari cahaya
lampu, tubuh ayahnya makin samar, lalu hilang di balik gerbang halaman. Salsi menarik napas panjang. Agak cemas ketika dia ingat ayahnya mengidap tekanan darah tinggi dan jantung. Pak Kirom rawan serangan. Dokter sudah menyampaikan hal itu kepada Salsi. “Jagaayahmu jangan sampai tekanan darahnya meninggi. Jaga pe ra saannya.” Ketika Pak Kirom menetapkan hati menikahi Yu Jembar, pada hari pernikahan, Salsi dan suaminya ikut pergi ke Kantor Urusan Agama. Perasaan Salsi campur baur: ada malu, ada tawar, ada risi yang me nyatu menjadi rasa kurang nyaman. Namun semua perasaan itu menyingkir ketika datang kesadaran terdalam, apa pun dan ba gaimana pun lelaki tua yang sedang berhadapan dengan penghulu yang jauh lebih muda itu adalah ayahnya. Darah Salsi adalah darah ayahnya. Napas Salsi adalah kelanjutan napas ayahnya.
Detail Buku:
Judul : CERITA CINTA INDONESIA
Penulis : 45 Penulis GPU
Penulis : 45 Penulis GPU
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
ISBN :978-602-03-0517-2
Tebal : 400 hlm
ISBN :978-602-03-0517-2
Tebal : 400 hlm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar