Hujan dan Teduh by Wulan Dewatra

Hujan dan Teduh by Wulan Dewatra

Sebuah bus kota sarat penumpang berhenti di halte, di depan sebuah SMA. Halte sesak oleh pelajar berseragam putih abu-abu yang sedang menunggu bus, plus yang sedang nongkrong nongkrong. Beberapa saat kemudian, bus pergi meninggalkan halte, meninggalkan asap hitam pekat. Setelah asap menipis, yang tersisa di sana hanya segerombolan murid perempuan yang sedang berceloteh seperti burung parkit; seorang murid laki-laki berkacamata tebal, seorang murid perempuan berponi pagar dan seorang murid perempuan dengan rambut panjang terurai. Si perempuan berambut panjang memperhatikan murid berponi itu yang duduk jauh di sebelah kanan, dengan penuh minat dari ujung kepala sampai kaki. Ada yang menarik, entah apa. Menyadari sedang diperhatikan, si perempuan berponi menatap perempuan berambut panjang
yang cepat-cepat memalingkan mukanya. Si perempuan berambut panjang memandang jam tangannya, berharap orang yang sedang ditunggunya segera datang dan membawanya pergi dari keadaan canggung tersebut. Tak lama kemudian, sepeda motor merah yang dikendarai seorang laki-laki berseragam putih abu-abu berhenti di depan halte tersebut. Bukan untuk menjemput si perempuan berambut panjang, karena si laki-laki menyodorkan helm kepada si perempuan berponi yang bergegas menghampirinya. Mereka pun pergi Si perempuan berambut panjang memperhatikan kepergian mereka dari sudut matanya. Ketika mereka tidak terlihat lagi, ia mulai berkutat dengan lamunannya sampai sebuah Picanto berhent di depannya dan pengendaranya membunyikan klakson. Ia segera masuk dan duduk di kursi depan, di sebelah perempuan setengah baya yang terlihat masih segar dan menarik. "Maaf, Ibu telat," ujarnya dari balik kemudi. "Gimana rapornya?" lanjutnya sambil memajukan mobil perlahan  "Bagus," ujar singkat si perempuan berambut panjang. Ia tidak suka membicarakan nilai. Ibunya tersenyum dengan pandangan lurus ke depan. Hening sejenak. "Sekarang Ibu antar kamu ke bengkel, setelah itu Ibu kembali lagi ke toko. Bintang, nggak apa-apa kan pulang sendiri?" lanjut sang ibu. "Iya," ujarnya pelan, pikirannya sibuk mencari-cari bayangan perempuan berponi tadi. Dua kotak kardus berada di pelukan Bintang. Ia berdiri di depan pintu, di sebelah deretan pintu yang tertutup. Sebuah kardus terletak di sebelah kaki ibunya yang sedang memasukkan kunci. Pintu terbuka. Bintang langsung masuk, disusul ibunya yang menyeret kardus. Dua kardus di pelukan Bintang kini sudah terletak di lantai. Bintang sedang memijat-mijat lengannya yang egal ketika ibunya duduk di atas ranjang berukuran single di sebelahnya. "Ini kosannya. Deket banget ke kampus kamu," ujar sang ibu sambil menghempaskan tubuhnya di tempat tidur dan menghembuskan napas lega. Lega karena akhirnya sampai di tempat yang dituju setelah lima jam mengemudi dengan penuh stres karena macet. Bintang mengedarkan pandangannya di ruangan bercat putih tersebut. Sebuah ranjang berada di sebelah jendela yang lumayan besar. Meja rias dan lemari berada di sisi dinding yang lain. Di bagian lain ruangan itu terdapat juga sebuah sofa cokelat kecil, berhadap-hadapan langsung dengan meja yang menempel ke dinding dengan TV di atasnya. Terlalu mahal, pikir Bintang. "Gimana, Bintang?" tanya ibunya.
"Bagus, Bu," ujarnya singkat.  Senyuman tergambar di wajah awet muda ibunya. "Kalau gitu kita lihat kamar mandi dan pantry-nya." Sang ibu sambil menarik Bintang ke pintu yang berada di ujung tempat tidur—tembus langsung ke ruang pantry. "Biar bisa masak sendiri," lanjut Ibu sambil menyalakan keran di tempat cuci piring. Hanya mengecek. Bintang, yang berdiri di depan pintu toilet, merasa kosannya terlalu mewah untuk ukuran seorang mahasiswa. Terlalu berlebihan. Dia menatap ibunya ragu-ragu, sementara jarinya engggesek-gesek permukaan meja pantry yang mengilat. "Pasti kosan ini mahal sekali. Gimana kalau cari yang lebih... murah aja?" tanyanya pelan. Ibunya hanya tertawa. "Kamu mau pindah?" "Nggak perlu mewah-mewah lah. Yang lebih kecil daripada ini juga nggak apa-apa," ujar Bintang. "Kosan ini sudah dibayar." Bintang merasakan tangan ibunya menyentuh lembut bahunya, seolah memberi tanda supaya dia tidak banyak membantah. "Lagi pula, repot kalau kita harus

Detail Buku:
Judul         : Hujan Dan Teduh
Penulis      : Wulan Dewatra
Penerbit     : PT Gramedia Pustaka Utama
ISBN         :
-
Tebal         : -
Download      : GoogleDrive


Tidak ada komentar:

Posting Komentar