Pada suatu hari cerah di bulan Juni, di hadapan separuh penduduk kota, mengenakan gaun pernikahan yang membuatnya kelihatan seperti Cinderella dan memegang buket mawar pink yang sempurna, Faith Elizabeth Holland ditinggalkan di altar Jelas kami tidak mengira itu akan terjadi. Di sanalah kami semua, duduk di Gereja Trinity Lutheran, tersenyum, berpakaian rapi, tak ada bangku kosong, orang-orang berdiri sampai tiga deret di bagian belakang gereja. Gadis-gadis pengiring mempelai wanita berpakaian pink, dan keponakan Faith, yang baru tiga
Belas tahun, kelihatan sangat cantik. Pendamping mempelai pria mengenakan pakaian seragam formal dan kakak laki-laki Faith jadi penerima tamu. Indah! Hari pernikahan kedua anak ini Faith dan Jeremy, yang berpacaran sejak SMA dipastikan akan menjadi salah satu hari paling membahagiakan yang pernah kota kami saksikan setelah bertahun-tahun. Bagaimana pun, keluarga Holland adalah salah satu pendiri kota ini, tipe orang-orang terhormat. Tanah mereka lebih luas dibandingkan siapa pun di kota anggur Finger Lakes, berhektare-hektare kebun anggur dan hutan, sampai ke Keuka Danau Berkeluk, sebagaimana sebutan kami. Keluarga Lyon, yah, mereka dari California, tapi bagaimanapun, kami menyukai mereka. Mereka golongan berada. Orang-orang baik. Tanah mereka berbatasan dengan tanah keluarga
Holland, jadi anak-anak itu tetangga dekat. Romantis sekali, bukan? Dan Jeremy, oh, dia sangat menarik! Dia bisa jadi pemain NFL profesional. Ya, sungguh, dia sehebat itu Tapi dia justru kembali ke kampong halaman setelah jadi dokter. Dia ingin berpraktik di kota ini, menetap
bersama Faith yang manis dan membangun keluarga. Perkenalan anak-anak itu sangat romantis, bisa dibilang dengan cara medis Faith, yang saat itu kelas tiga SMA, kambuh epilepsinya. Jeremy, yang baru pindah ke kota ini, menyikut ke kiri dan ke kanan agar bisa sampai ke samping Faith, menggendong gadis itu dalam lengan berotot khas pahlawan football yang, setelah dipikir-pikir, mestinya tidak dia lakukan; tapi niatnya mulia, dan sungguh gambaran menarik, Jeremy yang tinggi dan berkulit kecokelatan membopong Faith melintasi koridor-koridor. Dia membawanya ke ruang perawat; di sana, dia tetap mendampingi Faith sampai ayah gadis itu datang menjemput. Itu, konon, cinta pada pandangan pertama. Mereka datang ke pesta prom berpasangan, Faith dengan rambut merah tua yang mengikal di bahu, kulit krem bersanding dengan gaun biru pekat. Je remy sangat tampan, bagai pahatan sosok dewa football seting gi 190 sentimeter, rambut hitam dan mata gelapnya membuat Jeremy tampak seperti bangsawan Ro mawi. Dia kuliah di Boston College dan bermain football di sana; Faith menuntut ilmu di Virginia Tech untuk mem pelajari desain lanskap, dan melihat jarak serta
usia mereka… yah, tak seorang pun menyangka mereka akan tetap bersama. Kami semua bisa membayangkan Je remy berpacaran dengan model atau bahkan bin tang muda Hollywood, mengingat kekayaan ke luar ga, kemampuan olahraga, dan ketampanannya. Faith memang ma nis dalam kesederhanannya, tapi kau tahu ba gai ma na akhir cerita semacam itu. Si gadis di lu pakan, si pe muda melanjutkan hidup. Kami pasti maklum. Tapi, tidak, kami salah. Orangtua Jeremy mengeluh ten tang besarnya tagihan ponsel, banyaknya jumlah pesan yang Jeremy kirim kepada Faith, nyaris seolah Ted dan Elaine membual Lihat betapa berbaktinya pu tra kami! Betapa setianya! Betapa besar cintanya ke pada sang kekasih! Bila pulang saat libur semester, Faith dan Jeremy ber jalan-jalan melintasi kota sambil bergandengan tangan, se lalu tersenyum. Jeremy memetik bunga dari ko tak-ko tak jendela yang rimbun di depan toko roti dan me nyelipkannya di balik telinga Faith. Mereka sering ter lihat di pantai, kepala Jeremy di pangkuan Faith, atau di tengah danau naik kapal Chris-Craft
Detail Buku:
Judul : The Best Man
Penulis : Kristan Higgins
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
ISBN : 978 - 602 - 03 - 1471 - 6
Tebal : 559 hlm
ISBN : 978 - 602 - 03 - 1471 - 6
Tebal : 559 hlm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar